Pada awalnya terdapat desa yang disebut dengan Banjar Blatungan, yang sekarang disebut dengan Bale Agung dan Banjar Paras yang sekarang disebut Banjar Aseman. Pada saat itu, tersebut seorang tokoh yang bernama Pre Wayan Sri Bakti yang disegani di lingkungannya. Pada abad ke-18, sosok tokoh Pre Wayan Sri Bakti ini dipanggil oleh raja Anak Agung Paang yang berkedudukan di Sukasada. Dalam pemanggilan tersebut, terjadi permasalahan yang sangat menyinggung perasaan Pre Wayan Sri Bakti, dimana raja meminta Puri Blatungan (rumah kediaman kasta Ksatria) dikosongkan dari Anak Agung Paang dan keluarganya sehingga beliau dengan kesal kembali ke banjar Blatungan. Sesampai kembali di puri, Beliau memberitahukan permasalahan yang terjadi di puri dan mengundang warganya untuk mesatya kepada Pre Wayan Sri Bakti yang pada saat itu Pre Wayan Sri Bakti bunuh diri yang diikuti warganya.
Lama kelamaan bukti tersebut terlihat setelah generasi berikutnya mengadakan pengembangan lahan disekitar Banjar Blatungan yang berupa tulang belulang manusia yang sangat banyak, dalam penemuan tulang belulang tersebut secara spontan masyarakat menyebut sebagai tanah aon (asri: abu/aon) menjadilah nama desa Tenao, yang mewilayahi : Banjar Alasangker, Bengkel, Tenaon, Pendem, Bergong Pumahaan dan Juwuk Manis.
Pada zaman penjajahan Belanda, tersebut tokoh yang berasal dari Banjar Alasangker Desa Tanaon, Gede Jiwa, dipandang oleh Belanda sangat berjasa dalam menangkap para penjahat sampai di daerah Lombok. Atas jasa Beliau tersebut, maka diberikan piagam penghargaan oleh Belanda dengan terlebih dahulu menanyakan asal tokoh tersebut. Gede Jiwa menjawab dengan pendek "dari Alasangker", sehingga nama piagam tersebut bertulis nama Desa Alasangker. Dari kejadian tersebut secara pemerintahan Desa Tanaon bergeser menjadi Desa Alasangker.
Sumber: http://alassangkerbuleleng.blogspot.com