Siapa yang tidak tahu atau tidak pernah mendengar jargon "Buanglah Sampah pada Tempatnya"? Jargon kebersihan ini begitu populer bertahun-tahun melintasi beberapa generasi. Tidaklah mengherankan bila kebanyakan masyarakat memiliki persepsi bahwa sampah harus dibuang.
Dimanakah tempatnya? Bila dibuat survei, penulis yakin jawaban teratas adalah keranjang sampah. Bila surveinya diadakan diantara masyarakat perkotaan, maka tentu akan banyak juga yang menjawab TPS dan TPA.
Dari sisi pengelolaan sampah perkotaan (urban waste management) tentu ini hal yang menggembirakan bahwa masyarakat mengetahui alur pengolahan sampah adalah dari sumbernya (rumah tangga, kantor, tempat publik, dsb) ke TPS dan berakhir di TPA.
Namun berapa banyak yang tahu bahwa kepanjangan dari TPS adalah bukan Tempat Pembuangan Sampah dan kepanjangan dari TPA bukanlah Tempat Pembuangan Akhir?
Singkatan TPS dan TPA muncul dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah dan beberapa peraturan menteri lingkungan hidup dan menteri pekerjaan umum yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
TPS adalah singkatan dari Tempat Penampungan Sementara yaitu tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu.
Sedangkan TPA adalah singkatan dari Tempat Pemrosesan Akhir yaitu tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
Mempersepsikan TPS dan TPA sebagai Tempat Pembuangan Sampah mengandung bahaya dalam hal pengelolaan sampah kota yang berkelanjutan: Warga kota menaruh semua jenis sampah yang dihasilkannya ke TPS! Hal ini akan berakibat pada tingginya volume sampah dan meningkatnya beban kerja petugas pengangkut sampah, apalagi pada kota yang memiliki personil, alat angkut dan biaya operasional sampah yang terbatas.
Dalam kondisi demikian, bila semua sampah dari semua TPS diangkut dan ditimbun di TPA maka akan memperpendek umur pakai TPA tersebut karena lekas menjadi penuh. Bila TPA sudah menjadi penuh mau kemana lagi sampah kota dibawa?
Mencari lokasi baru untuk membuat TPA baru? Jangan lupa bahwa pertambahan jumlah penduduk dan pembangunan meningkat seiring berjalannya waktu dan berakibat pada berkurangnya ketersediaan lahan.
Sudah terjadi seperti di Provinsi DKI Jakarta yang harus mengangkut sampahnya ke Bantar Gebang, Bekasi di Provinsi Jawa Barat. Di Jepang, Pemerintah Tokyo harus mereklamasi Teluk Tokyo untuk menambah luas areal TPA-nya.
Kalaupun suatu kota masih memiliki ketersediaan lahan untuk lokasi TPA baru, tentulah harus membayar dengan harga yang tinggi, belum lagi harus menghadapi masyarakat di sekitar lokasi tersebut yang belum tentu bisa menerima rencana pembangunan TPA.
Jadi dalam hal pengelolaan sampah perkotaan yang berkelanjutan penting untuk bukan saja mengedukasi masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya, namun juga agar secara aktif melakukan pengurangan sampah dan penanganan sampah. Memilih untuk menggunakan tas belanja daripada kantong kresek dan menggunakan saputangan daripada tissue adalah contoh dari upaya pengurangan sampah. Sementara penanganan sampah dapat masyarakat lakukan dengan melakukan pemilahan sampah, membuat kompos dan mendaur ulang sampah.
Dalam melakukan pengelolaan sampah perkotaan, Pemerintah Kabupaten/Kota perlu beranjak dari pendekatan kebersihan dan keindahan kota kepada pengelolaan sampah perkotaan yang terintegrasi mulai dari sumber sampah hingga ke TPA. Sesuai dengan definisi TPS (Tempat Penampungan Sementara) dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 dan peraturan pelaksananya, tidak serta merta semua sampah dari TPS diangkut ke TPA. Sampah yang sudah terpilah di TPS semestinya diangkut lebih dahulu ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. Persoalannya kebanyakan pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki fasilitas pengolahan sampah antara (intermediate waste processing facility).
Berbeda dengan Jepang, sebagaimana penulis saksikan selama mengikuti Staff Enhancement Program dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana - Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PUSBINDIKLATREN - BAPPENAS) di Tokyo tanggal 2-28 Oktober 2017. Tidak ada TPS berupa kotak beton seperti di Indonesia, warga kota Tokyo mengumpulkan sampahnya sesuai jenis pada hari yang telah ditentukan ke titik pengumpulan (collection points).
Dari collection points sampah diangkut oleh petugas kebersihan kota ke beberapa fasilitas yang berbeda sesuai jenis sampahnya. Sampah yang bisa didaur ulang seperti botol plastik, botol kaca dan kaleng minuman dibawa ke Recycling Center untuk diproses dan dimanfaatkan atau dijual. Sampah berupa sisa makanan dan sampah dari dapur dibawa ke incineration plant untuk dibakar dengan suhu di atas 800oC.
Sampah berukuran besar seperti ranjang, lemari dan meja yang rusak diangkut ke large-sized waste processing center untuk dipotong/dicacah. Material berharga seperti alumunium dan besi dikumpulkan dan material sisa yang bisa dibakar diangkut ke incineration plant. Sementara untuk sampah keramik (toilet bekas, bongkaran lantai) dan sampah logam diangkut ke incombustible waste processing center untuk dipotong/dicacah). Material berharga seperti alumunium dan besi dikumpulkan.
Jadi yang dibawa ke TPA hanyalah residu yaitu sisa sampah yang tidak dapat diolah di fasilitas-fasilitas tersebut, seperti abu sisa pembakaran dari incineration plant dan cacahan sampah yang tidak bisa dibakar. Itulah sebabnya Jepang bisa mengurangi secara signifikan jumlah sampahnya yang ditimbun di TPA. Sebagai contoh pada tahun 2015 dari total 43,98 juta ton timbulan sampah hanya 9,48% saja yang diangkut ke TPA. Dengan demikian umur pakai TPA pun menjadi lebih panjang.
Awalnya Jepang juga menggunakan pendekatan kebersihan dan keindahan kota dalam mengelola sampahnya. Semua sampah kota diangkut untuk langsung dibuang di TPA. Hingga kemudian peristiwa "GARBAGE WAR" pada tahun 1971 yang dipicu oleh warga Kota Koto yang memprotes dan memblokade jalan yang dilalui truk-truk pengangkut sampah dari 23 kota di Tokyo yang menuju TPA di daerah mereka.
Sejak saat itu Pemerintah Metropolitan Tokyo (membawahi 23 kota) melakukan pengelolaan sampah kota secara terpadu dengan mengembangkan fasilitas-fasilitas pengolahan sampah sebagaimana diuraikan di atas. Disertai dengan kesadaran masyarakatnya untuk mengurangi dan memilah sampahnya. Saat ini Jepang telah berhasil menekan jumlah timbulan sampah kota dan jumlah yang ditimbun di TPA tidak sampai 10% nya saja.
Tahun ini Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah berusia 10 (sepuluh) tahun. Melalui Surat Edarannya tertanggal 15 Januari 2018 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengajak seluruh Gubernur, Bupati, dan Wali Kota se-Indonesia untuk memanfaatkan Hari Peduli Sampah Nasional 2018 yang puncak peringatannya jatuh pada tanggal 21 Februari 2018 sebagai momentum untuk melakukan corrective action serta aktualisasi gerakan bersama antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha dalam mewujudkan Indonesia Bersih Sampah Tahun 2025.
Kita dapat memulai dengan mengoreksi persepsi bahwa TPS bukanlah Tempat Pembuangan Sampah melainkan Tempat Penampungan Sementara, dan TPA bukanlah Tempat Pembuangan Akhir melainkan Tempat Pemrosesan Akhir. Karena itu semestinyalah dibangun fasilitas pengolahan sampah antara TPS dan TPA. Tidak harus membangun yang baru, Pemerintah Kabupaten/kota dapat memberdayakan Bank Sampah yang telah ada sebagai pusat daur ulang dan pembuatan kompos. Residu yang tidak bisa diolah di Bank Sampah barulah kemudian diangkut ke TPA.
Di TPA pun dilakukan pemrosesan antara lain menutup sampah dengan tanah secara berlapis, serta mengelola air lindi dan gas metana yang dihasilkan dari sampah tersebut. Konsep 3R (Reduce, Reuse & Recycle) harus dipopulerkan hingga tertanam di kesadaran pribadi warga kota. Setidaknya warga kota sadar untuk melakukan pemilahan sampah. Untuk menjamin sampah tetap terpilah dapat ditentukan jadwal pengumpulan sampah yang berbeda sesuai jenisnya.
Semoga tulisan ini dapat memotivasi kita untuk berbuat lebih dari hanya membuang sampah pada tempatnya. Bila kita hanya tahu membuang saja, kasihan para petugas kebersihan kota. Kasihan TPA kita. Ingat TPA bukan Tempat Pembuangan Akhir!